MASALAH PEMBANGUNAN DAN PENEGAKAN
HUKUM
KELAUTAN Dl INDONESIA
I.
PENDAHULUAN
Strategis
pembangunan kelautan yang meliputi bidang-bidang seperti pertambangan,
pariwisata bahari, perikanan, ekonomi masyarakat pesisir,angkutan laut, dan
industri maritim. Tentu saja bidang-bidang yang dikemukakan itu bisa ditambah
dengan issu-issu strategis diberbagai bidang kelautan lainnya, seperti bioteknologi,
bidang perlindungan sumber daya kelautan yang menyangkut sumber daya pusaka / warisan yang terendam,
terumbu karang berbagai spesies laut dll, serta bidang keamanan dan pengamanan
laut. Dibagian akhir dari makalahnya, penyaji menyampaikan arahan dan
rekomendasi tentang kebijakan pembangunan kelautan di Indonesia.
Mengingat Seminar dan Loka
Karya yang sedang berlangsung ini adalah Seminar dan Loka Karya Pembangunan
Hukum Nasional dengan tema Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Nasional
Berkelanjutan, maka merupakan problem adalah kemana arah dan bagaimana hukum
yang menyangkut kelautan harus dibangun dan ditegakkan. dalam merumuskan
perencanaan pengembangan hukum perlu diperhatikan, bahwa rencana pengembangan
hukum harus berbasis pada kebutuhan hukum (need oriented of law)
dimana adanya peraturan didasarkan pada kebutuhan masyarakat di kawasan pesisir
dan pada prakarsa dan adanya kesadaran masyarakat hukum setempat. Disamping itu
rencana strategi pengembangan hukum untuk pemanfaatan sumber daya supaya
berorientasi pada mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya hayati di perairan
nusantara dan ZEE, serta menciptakan reformasi kelembagaan ekonomi dan sosial
bagi masyarakat, khususnya masyarakat pantai yang berkepentingan, dengan
menyiapkan tataruang yang optimal dalam wilayah penangkapan dan budidaya ikan
serta reaktualisasi nilai-nilai tradisi lokal dalam tubuh masyarakat pesisir.
Sedangkan mengenai tujuan dan sasaran rencana pengembangan hukum dikemukakan
perlu adanya kemampuan untuk menghidupkan kegiatan ekonomi yang produktif
berbasis sumberdaya lokal, mampu membuka akses yang luas bagi masyarakat
terhadap pemanfaatan sumber daya kelautan serta mampu mendayagunakan potensi
ekonomi dan sumber daya pesisir dan lautan secara optimal dengan memperhatikan
aspek kelestarian dan keberlanjutan lingkungan (sustainable and environmentally friendly).
II.
PEMBAHASAN
II.1
MASALAH PEMBANGUNAN KELAUTAN INDONESIA
Letak Geografis Negara
Republik Indonesia adalah sangat strategis karena terletak pada posisi silang
antara 2 (dua) Benua yaitu Asia dan Australia serta 2( dua) Samudera yaitu
Pasific dan Hindia. Karena negara Republik Indonesia merupakan suatu negara
kepulauan (archipelago state) maka peranan
perhubungan laut adalah sangat penting dan strategis dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, oleh karena itu wawasan nusantara merupakan grand strategy. Sebagai negara maritim yang terdiri dari
belasan ribu pulau maka seharusnya kita memiliki armada kapal yang cukup untuk
melayani kebutuhan angkutan laut Dalam Negeri dan Angkutan Laut Luar Negeri.
Namun kenyataannya dewasa ini kita mengalami Defisit dalam Neraca Pembayaran
Luar Negeri sebesar US $ 11 Milyar/tahun karena kapal-kapal kita kalah
bersaing.
Data pada tahun 2001
menunjukan bahwa share
Angkutan Laut Luar Negeri armada nasional hanya
mencapai 5,6 % dari total muatan sebesar 345 juta ton, sedangkan untuk Angkutan
Laut Dalam Negeri hanya mencapai 56.4 % dari total angkutan 170 juta ton. Bagi
negara kepulauan seluas Indonesia, maka kegiatan transportasi di laut merupakan
tulang punggung untuk merealisir cita-cita yang dikandung didalam azas Wawasan
Nusantara. Oleh karena itu, Pemerintah RI yang bagaimanapun dan kapanpun yang
kurang memperhatikan peran angkutan laut, akan sulit mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur.
Sejarah membuktikan bahwa
Pemerintah Jajahan pada masa silam menyadari betul masalah yang dihadapi,
karena itu ditanggulangi melalui keunggulan peran transportasi dilaut, sebingga
mendatangkan kemakmuran yang gemilang, terutama selama kurun waktu lebih dari
delapan dasawarsa Pemerintahan Hindia Belanda sampai sesudah penyerahan
Kedaulatan RI. Untuk dapat mewujudkan angkutan laut yang handal dan kredibel,
maka perlu diIengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai dan handal pula,
dibarengi dengan kebijakan-kebijakan yang menunjang dan diterjemahkan ke dalam
bentuk peraturan-perundangan yang komprehensif dan pragmatis. Oleh karena itu,
merupakan kewajiban kita untuk menata Sub Sektor Perhubungan Laut / Maritim
demi kejayaan Bangsa dan Negara, yang meliputi Bidang : Angkutan Laut,
Kepelabuhanan, Navigasi, Keselamatan Kapal dan Pelayaran, Lingkungan Maritim
dan Pencemaran Laut, SDM dan Diklat serta Hukum dan Kerjasama Internasional.
A.
ANGKUTAN LAUT
1. Dasar Pemikiran
Alur pikir yang disusun
oleh Pemerhati Perhubungan Laut dalam menyikapi berbagai permasalahan angkutan
laut di negara kita didasarkan pada prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahwasanya, pembangunan transportasi Laut di negara Republik Indonesia, sebagai
negara maritim terbesar di dunia, tidak terlepas dari Wawasan Nusantara, dan
lautan disekeliling negara Republik Indonesia bukan merupakan pemisah, tapi
sebalikya merupakan pemersatu dan jembatan bagi kemajuan bangsa dan negara dan
armada niaga nasional merupakan infrastruktur pembangunan ekonomi. Kondisi
Transportasi Laut sekarang yang merupakan starting point bagi
pengembangan Angkutan Laut, di tinjau dari segi Penyelenggaraan, Pengusahaan,
dan Pengoperasian yang berkaitan dengan kondisi yang diinginkan perlu
diwujudkan untuk menunjang dan mendorong kemajuan bangsa dan kebutuhan
masyarakat. Untuk mencapai kondisi yang diharapkan terdapat sejumlah lingkungan
strategis yang mempengaruhi perkembangan transportasi laut baik Nasional,
Regional, dan Global. Transportasi laut diharapkan dapat menyesuaikan
perkembangan yang terjadi baik diskala Nasional, Regional, maupun Global, dalam
rangka menjawab tantangan dan peluang yang ditimbulkan.
2. Kondisi Yang Diinginkan
Terwujudnya armada
angkutan laut nasional, dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan kebutuhan
pertumbuhan komoditi, yang dihasilkan oleh sektor industri, pertanian,
pertambangan, kehutanan, dan perdagangan untuk didistribusikan ke seluruh
pelosok tanah air, dengan menggunakan kapal-kapal berbendera Indonesia dan
dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional sesuai azas
"cabotage", serta melaksanakan angkutan ke dan dari luar negeri untuk
merebut pangsa pasar, melalui pembagian muatan yang wajar (fair share) bagi kapal-kapal yang dimiliki oleh perusahaan
pelayaran, dalam bentuk jaringan trayek dan non trayek dalam kesatuan sistem
angkutan laut nasional, didukung oleh pengembangan fasilitas pelabuhan yang
sesuai dan fasilitas keselamatan maritim yang memadai, serta diikuti dengan
pemenuhan tenaga kerja dan penyempurnaan manajemen / administrasi operasional.
3. Lingkungan Strategis
a. Nasional.
1) Hingga saat ini belum ada kebijakan nasional
yang memfokuskan untuk mengembangkan
armada nasional, namun dalam kenyataannya terdapat peraturan/produk hukum yang
lebih rendah yaitu SK. Menteri No.33/2001 yang bertentangan dengan peraturan /
produk hukum diatasnya yaitu PP.No.82/99 khususnya mengenai kegiatan keagenan
dan bongkar/muat kapal.
2) Adanya Undang-undang No.22/99 tentang Otonomi
Daerah telah terjadi kejanggalan-kejanggalan pola pemikiran dari Pemda misalnya
pengkaplingan wilayah laut dan adanya beberapa Pemerintah Daerah yang mengklaim
bahwa pelabuhan-pelabuhan untuk diserahkan kepada Pemda karena lokasinya berada
didaerahnya.
Apabila hal ini terjadi,
dikhawatirkan disatu sisi akan menimbulkan dampak peningkatan biaya operasi dan
disisi lain akan terjadi inefisiensi usaha pelayaran karena masing-masing Pemda
akan menerapkan tarip kepelabuhan yang berbedabeda. Disamping itu, Pemerintah
Kabupaten / Kota dan Pemerintah Propinsi tidak memiliki tenaga-tenaga yang
profesional sehingga menunjuk tenaga-tenaga yang ada didaerah, walaupun
Departemen Perhubungan telah memberikan petunjuk tentang persyaratan
jabatan-jabatan tertentu. Hal ini mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya
Visi dan Misi Perhubungan Laut disetiap Dinas Perhubungan.
b. Regional
Sebagaimana dimaklumi
bahwa AFTA (Asean
Free Trade Area) mulai
berlaku pada Januari 2003. Didalam AFTA terdapat AFAS (Asean Framework Agreement on Trade in Services) yang
akan menimbulkan persaingan yang ketat. lndonesia telah menandatangani AFAS,
dengan demikian Indonesia telah menjadi salah satu negara peserta. Pada
dasarnya AFAS merupakan liberalisasi perdagangan jasa untuk regional Asean yang
berlaku secara bertahap mulai tahun 1995 dan tentunya dapat di pastikan
Pelayaran Nasional akan menghadapi persaingan yang makin berat. Apabila kita
tidak mengambil langkah melalui kebijakan yang mendorong daya saing dan
efisiensi, niscaya kita akan tertinggal dari pertumbuhan pelayaran niaga
negara-negara ASEAN.
c. Global.
Ditingkat global
persaingan yang terjadi sudah sedemikian ketat. Terlebih lagi dengan
dikeluarkannya aturan GATS (General
Agreement on Trade Services) pada
tahun 1994. Untuk meredam berbagai persaingan ini, kita melihat telah terjadi 7
aliansi perusahaan pelayaran, skala dunia yang melayari service ke seluruh
dunia, dan hanya menyinggahi beberapa pelabuhan Hub yang dapat menyediakan
2000-3000 TEU'S sekali singgah. Dengan demikian dalam percaturan ini Indonesia
hanya mampu sebagai feeder
saja, sedang negara-negara lain misalnya Malaysia
dan Singapore pelayaran niaganya telah memasuki global service, beberapa tahun yang lalu. Pelabuhan Tanjung
Pelepas ataupun Port Klang telah menjadi pelabuhan Hub, dengan masuknya
beberapa mainland
operator menyinggahi, pelabuhan
tersebut. Bahkan Maersk Line dan Ever Green telah memindahkan Base Office-nya
dari Singapore ke Tanjung Pelapas. Proses tersebut didukung oleh rendahnya
tarif handling kontainer di kedua pelabuhan tersebut. Kebijakan tersebut
ditempuh agar terjadi pertumbuhan kawasan industri disekitar kedua pelabuhan
tersebut.
B. KEPELABUHANAN
1. Pelabuhan adalah salah satu prasarana ekonomi
terdiri dari daerah daratan dan perairan sebagai suatu lingkungan kerja,
dilengkapi dengan fasilitas pelabuhan yang memungkinkan dapat melayani keluar
masuk kapal dan terselenggaranya bongkar muat barang dan naik / turunnya
penumpang, serta berfungsi sebagai penghubung (interface) antar moda transportasi laut dengan moda transportasi
darat.
2. Kepelabuhanan secara umum merupakan jasa
pelayanan terhadap kapal dan barang, dan diselenggarakan untuk memberikan
manfaat bagi semua pihak yang terkait dan berkepentingan terhadap pelayanan
jasa kepelabuhanan, dan bukan semata-mata untuk mendapat keuntungan bagi
penyelenggara. (Peran Pelabuhan merupakan public utility).
3. Kepelabuhanan semestinya tidak mendasarkan
kepada pembagian Administrasi Wilayah Pemerintahan, namun berdasarkan peran
Pelabuhan yang bersangkutan terhadap pengembangan ekonomi wilayah yang
merupakan “Hinterland” dari pelabuhan dimaksud.
4. Instansi-instansi Pemerintah yang berwenang
menangani Pelabuhan, dewasa ini dirasakan terjadi tumpang tindih (overlap) sehingga Pelabuhan tidak bisa berperan untuk melaksanakan fungsi
utamanya yakni memperlancar arus kapal, barang dan penumpang secara efisien
sesuai dengan standar performansi yang umum.
5.
Penyelenggara Pelabuban c/q PT. Pelindo dalam perjalanan menjalankan
tugas dan
fungsinya
dirasakan bobot kepemerintahannya semakin menebal, sehingga sulit dibedakan
antara peran dan fungsi sebagai pengelola / penyelenggara pelabuhan dengan
peran dan fungsi sebagai unit Pemerintahan dipelabuhan.
6. Penggabungan pengaturan mengenai pengelolaan
kepelabuhanan dengan pengaturan keselamatan di areal pelabuhan (port-regulations) cukup beralasan asalkan dapat dibedakan cara
penanganan di lapangan antara fungsi pengelola dengan fungsi penegakan hukum
keselamatan, dengan mempertegas mana fungsi pengelolaan / pelayanan pelabuhan
dan mana fungsi dan tugas syahbandar dalam penegakan hukum keselamatan.
7.
Pembinaan kepelabuhanan sebagai prasarana ekonomi harus mendorong
potensi angkutan laut, perdagangandan industri sehingga dapat memfasilitasi dan
menumbuhkembangkan kegiatan usaha yang terkait dengan kegiatan pelabuhan dan
pelayaran, yang lazim disebut port and shipping related business.
8.
Otonomi Daerah.
Dengan hadirnya UU No.
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah, terdapat 2 (dua) hal prinsipiil yang sering
disalahartikan atau interprestasi yang keliru. Kedua hal prinsipiil yang di
maksud adalah ;
1). Wilayah Laut.
Wilayah Yurisdiksi laut
seolah-olah dipecah menjadi:
a) Pemda
Kabupaten/Kotamadya memiliki Yurisdiksi 4 mil laut.
b) Pemda Propinsi memiliki
Yurisdiksi wilayah laut antara 4 mil s/d 12 mil laut.
c) Pemerintah Pusat memiliki Yurisdiksi wilayah
laut diatas 12 mil laut s/d batas teritorial negara Indonesia.
Padahal yang dimaksudkan dengan pembagian wilayah
adalah kewenangan Pemerintah Kabupaten / Kota / Pemerintah Propinsi dan
Pemerintah Pusat dalam pengaturan pengelolaan wilayah laut dalam Konservasi,
Eksploitasi dan explorasi serta Pengelolaan kekayaan laut. Dengan adanya
Undang-undang No. 22/1999, maka Daerah kepentingan Pelabuhan menjadi hilang,
yang ada hanyalah Daerah Kerja Pelabuhan. Hal ini akan menyulitkan bagi
Pelabuhan apabila pada suatu saat ingin mengembangkannya.
2) Pengelolaan Pelabuhan
Secara fisik memang pelabuhan terletak didaerah
Kabupaten / Kotamadya dimana pelabuhan tersebut berada. Adanya tuntutan daerah
yang berlebihan untuk mengambil alih pengelolaan pelabuhan pada dasarnya
dilatar belakangi oleh keinginan untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan
baru yang cukup berarti bagi daerah. Tuntutan ini bisa dimengerti akibat
persepsi yang keliru dan kurang informasi dan komunikasi yang memadai. Sejalan
dengan lahirnya perundangan tentang Otonomi daerah ini disamping terjadi
hal-hal negatif terdapat pula hal-hal yang positif. Yang menjadi pokok masalah
adalah bagaimana bisa memberikan peran kepada Pemerintah Daerah (Pemerintah
Propinsi dimana Pelabuhan berada) didalam peran dan fungsi pembinaan Pelabuhan
agar Pemerintah Daerah mempunyai rasa memiliki dan rasa turut bertanggung jawab
dalam pengembangan Pelabuhan tanpa mengurangi kebijakan pengendalian yang harus
dilaksanakan secara terpusat / nasional dalam rangka perwujudan wawasan
nusantara.
9. Didalam menyelenggarakan tugas dan fungsi
pemanduan kapal terdapat fungsipemerintahan berupa tenaga pandu / keahlian
memandu yang menjalankan tugas dalam rangka keselamatan kapal dan pelayaran.
Disamping itu, terdapat pula fungsi pengusahaan berupa penyediaan fasilitas
peralatan pandu seperti towing, mooring boat,
alat-alat komunikasi, radio dan lain-lain.
10.
Penentuan Pelabuhan-pelabuhan yang diusahakan menjadi 4 (empat) Pelindo
dan
pelabuhan
yang tidak diusahakan (dikelola oleh Pemerintah) sudah dirasakan kurang sesuai
lagi dalam rangka peningkatan tingkat efisiensi pelayanan pelabuhan.
11. Kebijakan penentuan tarif pelabuhan pada
dewasa ini dirasakan sudah menyimpang dari prinsip Port Pricing Policy sehingga dirasakan memberatkan pihak pelayaran.
12. Pengelolaan Pelabuhan disamping penyelenggara
Pelabuhan yang ditunjuk, dapat pula dilakukan oleh pihak investor swasta baik
nasional maupun asing. Rencana dan proposal investasi swasta tersebut harus
mendapat persetujuan Pemerintah dan pelaksanaannya secara penawaran umum (tender). Bentuk investasi swasta tersebut seyogianya dalam bentuk direct investment dengan membentuk usaha patungan atau bentuk
-bentuk lainnya yang menguntungkan kepentingan nasional.
13. Dewasa ini Pemerintah mempunyai gagasan untuk
membangun beberapa Hub Ports (Pelabuhan Transhipment) yang bertujuan untuk
dapat melaksanakan ekspor / impor langsung ke / dari luar negeri (pelabuhan
tujuan / asal).
14. Penanganan Keamanan Pelabuhan (Port Security) dewasa ini ditangani oleh beberapa instansi
seperti Kepolisian (KP 3 dan AIRUD), KPLP/Gamat dan Satpam yang dibentuk oleh
Penyelenggara Pelabuhan. Hal ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih (overlapping) penanganan tugas-tugas keamanan di pelabuhan.
15. Keberadaan Terminal Operator di pelabuhan-pelabuhan
besar diperlukan untuk mencegah terjadinya monopoli penanganan operasional
pelabuhan, namun dirasakan tingkat pelayanan dan kinerjanya belum maksimal.
16. Tanggung jawab pengelola pelabuhan sebaiknya
disinkronkan dengan suatu Konvensi yang baru, United Nations Convention on the Liability of Operators of
Transport Terminals in International Trade, 1991, yang mengatur mengenai tanggungjawab
terminal operator. Hal ini untuk mengantisipasi berlakunya Konvensi tersebut
secara global.
C. NAVIGASI, KESELAMATAN KAPAL DAN
PELAYARAN.
1. Pada dasarnya peraturan-peraturan tentang
Kenavigasian, Keselamatan Kapal dan Keselamatan Pelayaran merupakan peraturan
yang bersifat internasional. Oleh karena itu, peraturan-peraturan ini harus
mendasarkan diri pada konvensikonvensi internasional terutama pada
konvensi-konvensi yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Namun demikian, sebagai negara kepulauan yang besar dengan situasi dan kondisi
khusus yang berpengaruh kepada tranportasi laut, tentunya memerlukan pula
pengaturan yang bersifat khusus.
2. Mengingat bahwa wilayah lautan, meskipun
berada dalam kedaulatan suatu negara, namun merupakan kawasan yang bebas
dimanfaatkan dalam lalu lintas kapal dalam hubungan antar-bangsa dengan latar
belakang perbedaan dalam banyak hal secara politik, sosial, ekonomi, iptek,
peradaban dan budaya serta lain-lainnya, maka kebutuhan akan suatu bentuk
ketetapan yang seragam sebagai patokan atau rambu-rambu wajib diadakan guna
menghindari konflik kepentingan agar tercapai suatu ketertiban yang didambakan
semua pihak. Konvensi-konvensi Internasional yang menyangkut bidang maritim
yang dihasilkan oleh Badan-badan Internasional seperti IMO, ILO, ESCAP, UNCTAD,
dan lain-lain adalah perlu dipahami, dijabarkan dalam perundangan nasional guna
implementasi konvensi-konvensi tersebut. Selain dari itu diperlukan peran serta
yang aktif pula dalam pengkajian dan pembahasan materi-materi kebijakan yang
dirampungkan dalam forum badan-badan internasional tersebut dan diharapkan dapat
dipresentasikan di dalam forum badan tersebut guna membela kepentingan nasional
dan semua ini bisa dicapai melalui tersedianya SDM yang cukup dengan
kwalifikasi yang memadai.
3. UU No.21 Tahun 1992 tentang Pelayaran belum
mencakup dan menampung berbagai segi dan aspirasi yang terkait, padahal UU ini
telah membatalkan demikian banyaknya peraturan-perundangan yang berlakunya
sebelumnya, sedangkan peraturan pelaksanaan sebagai pengganti berbagai
peraturan yang telah dibatalkan belum diadakan, mengakibatkan kekosongan hukum,
sehingga terjadi kerancuan dalam pelaksanaan tugas di lapangan.
4. Laporan-laporan kecelakaan kapal dari daerah,
karena tidak ditangani oleh kwalifikas pelaut, menimbulkan masalah yang ruwet
dan pelik terhadap mekanisme kerja Mahkamah Pelayaran.
D. LINGKUNGAN MARITIM DAN PENCEGAHAN
PENCEMARAN LAUT.
1. Disadari bahwa laut merupakan suatu lahan yang
kaya dengan berbagai Sumber Daya Alam termasuk keaneka-ragaman Sumber Daya
Hayati yang kesemuanya dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan
umat manusia dibumi ini. Oleh karena itu semua negara bertanggungjawab dan
wajib melestarikan kondisi dan keberadaan laut sesuai wujudnya, seraya berupaya
untuk mencegah terjadinya pencemaran dalam bentuk apapun. Semula diakui bahwa
pencemaran potensial yang terjadi di laut diakibatkan oleh tumpahan minyak dari
kapal, apalagi disekitar tahun lima puluhan, ketika terjadi lonjakan yang
menyolok dalam pembuatan kapal-kapal tanker berukuran raksasa (super tanker) karena berkembangnya kebutuhan dan perdagangan
minyak bumi, sehingga tonage kapal tanker didunia mencapai 250 juta ton, yang
berarti lalu lintas angkutan minyak bumi mencapai suatu jumlah yang luar biasa
besarnya, dengan demikian merupakan suatu fenomena yang rawan dan suatu kendala
yang mengerikan, apabila terjadi kecelakaan kapal tanker dengan akibat
pencemaran dilaut oleh minyak bumi, Pernah ada Konvensi Bumi mengenai Sustainable Development dimana masalah pencemaran laut menjadi pokok
bahasan, yang pada prinsipnya laut harus bersih sehingga bisa berperan sebagai Maritime Equipment
Highway.
2. Pada tahun 1954, oleh Badan Maritim
International (IMO) dihasilkan Konvensi International tentang Pencegahan
Pencemaran di Laut oleh Minyak (International
Convention for the Prevention of Pollution
of the Sea by Oil 1954) yang
merupakan suatu upaya awal yang sangat berarti guna mengatasi dampak
pencemaran. Suatu faktor yang mengejutkan dunia bagaimana dampak kerusakan
pencemaran diderita, ketika terjadi kecelakaan kapal tanker Torry Canyon tahun
1967 yang mengakibatkan kerugian besar terutama dialami oleh daerah-daerah
wisata dipantai, maupun kerusakan yang dialami oleh sumber daya hayati di laut
dan lain-lain.
3. Berkenaan dengan peristiwa tersebut diatas dan
beberapa kejadian serupa yang terjadi, maka pada tahun 1973 diadakan konvensi
internasional yang membahas secara lebih rinci tentang berbagai bentuk
pencemaran yang terjadi dilaut, tidak saja oleh minyak bumi, tetapi juga oleh
bahan kimia maupun bahan-bahan bahaya lainnya, juga sampah-sampah dari air-air
buangan tinja dan sebagainya. Dengan demikian dihasilkan secara ambisius suatu
konvensi International tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal 1973 (International Convention for the
Prevention of Pollution from Ship 1973). Konvensi ini menampung banyak sekali
ketentuan yang wajib ditaati oleh setiap negara, beberapa contoh ketentuan
antara lain:
1) Besarnya jumlah tumpahan minyak yang
diperkenankan terbuang dari kapal, melebihi jumlah-jumlah tersebut dikenakan
sanksi.
2) Penempatan fasilitas-fasilitas penampungan
berbagai jenis kotoran di pelabuhanpelabuhan (reception facilities).
3) Suatu organisasi dengan kelengkapan fasilitas
disertai perancangan penanggulangan keadaan darurat (contigency plan) dan lain-lain.
4) Disadari pula bahwa pencemaran lingkungan laut
tidak saja diakibatkan oleh kapal, akan tetapi dapat pula terjadi dari
sumber-sumber lainnya, maka sebagai tindak lanjutnya atas prakarsa konferensi
Internasional oleh PBB di Stockholm tahun 1972 tentang Lingkungan Hidup (Human Environment) yang menetapkan, antara lain:
Bahwa setiap :legara wajib
mengambillangkah-langkah untukmencegah terjadinya pencemaran laut oleh
bahan-bahan apapun yang dapat membahayakan kesehatan manusia, maupun
mendatangkan kerusakan kepada sumber-sumber kehidupan dilaut, ataupun menganggu
ketenangan hidup serta mengganggu pemanfaatan laut secara wajar. Maka oleh IMO
dalam tahun 1972 menghasilkan Konvesi Internasional tentang Pencegahan
Pencemaran dari Pembuangan Sampah dan Bahan-Bahan Lainnya di Laut 1972 (International Conventionon the Prevention
of Marine Pollution by Dumpin of Wastes and Other Matter 1972). Selain daripada konvensi tersebut diatas,
banyak sekali konvensi-konvensi tentang pencegahan pencemaran dan tanggung
jawab yang dihasilkan IMO.
E. SUMBER DAYA MANUSIA
1. Mengingat lapangan kerja di lingkungan
Perhubungan Laut memerlukan keahlian keahlian khusus/tertentu, karena banyaknya
profesi, maka pengisian/penempatan SDM pada suatu unit organisasi harus
didasarkan kepada keahlian dan profesi sesuai dengan unit organsasi yang
bersangkutan, baik untuk SDM pada Ditjen Hubla (pusat dan daerah), SDM pada
Dinas-dinas Perhubungan Propinsi Kabupaten-Kota, BUMNBUMN dan Badan Usaha Milik
Swasta, jumlah Keseluruhan SDM + 400.000, diantaranya 15.000 orang berstatus
PNS dilingkungan Ditjen Hubla. Namun dalam kenyataannya terjadi ketimpangan
personil karena penempatan pada lokasi/jabatan banyak yang tidak mendasarkan
kepada keahlian profesi sehingga penanganan masalah tidak dapat diselesaikan
dengan baik. Disamping itu, penempatan personil jumlahnya tidak sesuai dengan
formasi dan kebutuhan sehingga disatu unit organisasi terjadi kekurangan
personil, sementara di unit organisasi lain terjadi kelebihan atau pengangguran
tak kentara.
2. Khusus bagi PNS Ditjen Hubla diperlukan pola
Diklat, pola karir/mutasi secara berjenjang dan standar kompetensi yang jelas
terukur dan transparan sehingga terjadi sinergi yang berguna bagi organisasi.
Selain dari itu kriteria keberadaan SDM yang terampil dan handal secara
kwantitatif terlebih lagi kwalitatif memenuhi kebutuhan untuk mengelola dan
menjalankan semua fasilitas yang tersedia selain untuk mengisi formasi
organisasi dan birokrasi Pemerintah yang telah dijabarkan secara tepat
menyangkut ruang lingkup tugas dan fungsi serta wewenangnya, agar terhindar
dari berbagai kendala, terutama kerancuan pelaksanaan tugas-tugas di lapangan.
3. Kaderisasi pegawai status, pelaut yang
berkwalitas di lingkungan DJPL perlu kembali
diadakan secara periodik melalui ikatan dinas,
agar terjamin kesinambungan pergantian generasi, di samping terbina secara dini
dan bertahap untuk memahami dan menguasai materi peraturan - perundangan
terkait dengan tepat agar dapat diwujudkan tingkat pengawasan keselamatan
navigasi, perkapalan dan pelayaran secara jitu dan memadai. Kekosongan dalam
formasi tenaga pelaut yang berkwalitas pada Unit Pelaksana Teknis di lapangan
mengakibatkan sasaran yang hendak dicapai dalam pelaksanaan manajemen
keselamatan kapal tidak akan berhasil.
F. PEDIDIKAN DAN PELATIHAN (DIKLAT).
1. Dewasa ini Lembaga yang menangani masalah
Diklat Perhubungan Laut tidak berada dibawah Ditjen Perhubungan Laut, namun
Pusdiklat Perhubungan Laut Berada dibawah Badan Diklat Departemen Perhubungan
sehingga penentuan kebijakannya tidak sinkron (kebutuhan Perhubungan Laut tidak
cocok dengan Program Diklat).
2.
Penerapan Pola Diktat yang meliputi :
a. Diklat Awal;
b. Diklat Teknis
Fungsional;
c. Diklat Penjenjangan;
yang seharusnya dilaksanakan secara terus-menerus
secara berjenjang dan berkesinambungan, sering terjadi hambatan karena masalah
anggaran. Sementara itu, kebutuhan semakin meluas karena terbentuknya
Dinas-dinas Perhubungan di setiap Populasi dan Kabupaten/Kota.
3. Kebutuhan Diklat secara teknis mutlak
diperlukan, mengingat :
a)
Kevakuman yang terasa melebar terhadap kwalifikasi pelaut di lingkungan Dephub,
terutama DJPL.
b) Adanya penegasan IMO melalui Resolusi 847 yang
menetapkan bahwa kewajiban implementasi dan penegakkan atas konvensi
internasional dan ketentuanketentuan terkait hanya bisa dilakukan oleh :
- Pemegang
Ijazah Nakhoda (ANT I)
- Pemegang
Ijazah Ahli Mesin Kapal Kepala (ATT I)
- Para Sarjana
yang berkaitan dengan Perkapalan dengan pengalaman berlayar
sekurang-kurang
lima tahun, atau pengalaman berlayar sekurang-kurang enam bulan tetapi dilengkapi
dengan beberapa model courses
yang ditetapkan IMO.
G. HUKUM DAN KERJASAMA INTERNASIONAL
1. UU No.21 Tahun 1992 tentang Pelayaran belum
mencakup dan menampung berbagai segi dan aspirasi yang terkait, padahal UU ini
telah membatalkan demikian banyaknya peraturan - perundangan yang berlaku
sebelumnya, sedangkan peraturan pelaksanaan sebagai pengganti berbagai
peraturan yang telah dibatalkan belum diadakan. Mengakibatkan kekosongan hukum,
sehingga terjadi kerancuan dalam melaksanaan tugas di lapangan,
2. Indonesia sebagai salah satu negara dari
negara-negara Asia Pacific peserta penanda-tanganan Memorandum of Port States Control di Tokyo Tahun 1993, hanya menetapkan empat
pelabuhan untuk pelaksanaan Port
state Control di Indonesia
dalam kaitan dengan ketentuan manajemen keselamatan Kapal. Kenyataannya
Pemerintah RI menetapkan 141 pelabuhan yang terbuka untuk perdagangan luar
negeri yang berarti konsekwensi dan tanggung jawab moral Pemerintah untuk
melaksanakan ketetapan-ketetapan internasional yang berlaku sebagaimana juga
ditegaskan melalui Hukum Laut Internasional.
3. Sebagaimana dimaklumi, bahwa saat ini
Pemerintah sedang memproses dilaksanakannya review/penyempurnaan
terhadap UU No. 21/92 tentang Pelayaran.
H. RATIFIKASI BEBERAPA KONVENSI PRIVATE
MARITIM LAW.
Disamping hal-hal tersebut
diatas, untuk penyempurnaan Peraturan Perundangan kiranya perlu ditampung
pengaturan yang berasal dari konvensi internasional, terutama yang berkaitan
erat dengan hukum privat maritim antara lain :
- Konvensi
Internasional tentang Tanggung Jawab Pengangkut.
- Konvensi
Internasional tentang Tanggung Jawab Operator Terminal.
- Konvensi
Internasional tentang Penahanan Kapal.
- Konvensi
Internasional tentang Maritime Lines and Mortgages.
Untuk itu Pemerintah lndonesia perlu segera
meratifikasi konversi tersebut. Mengingat ketentuan-ketentuan Undang-undang No.
21/192 sebagian besar merupakan hukum publik maka penjabaran lebih lanjut
ketentuan konvensi-konvensi internasional yang dimaksudkan di atas seyogianya
dituangkan dalam undang-undang tersendiri, sehingga
akan terdapat pemisahan yang jelas antara
undang-undang yang bersifat privat. Hal ini perlu dilakukan khususnya dalam
rangka pengembangan hukum privat maritim nasional, lebih-lebih mengingat hukum
privat maritim yang terdapat dalam KUHD sudah
sangat ketinggalan jaman.
I. REKOMENDASI
1. ANGKUTAN LAUT
Dari
paparan di atas, di perlukan langkah strategis, sebagai berikut :
a. Upaya untuk
menumbuh-kembangkan armada nasional.
1) Pelaksanaan PP 82/99 supaya dilaksanakan
secara murni dan konsekwen dalam hal keagenan dan bongkar muat.
2) Membentuk Indonesian Financial Maritime Institution non Bank.
3) Penguatan SDM maritim baik pelaut maupun non
pelaut.
4) Pelaksanaan route system untuk
melayani route - route/ trayek RLS tertentu dengan prioritas dan adanya
larangan kapal-kapal lain melayari route tersebut.
5) Mengurangi jumlah
pelabuhan yang terbuka untuk perdagangan luar-negeri.
b. Upaya untuk memperoleh jaminan muatan.
1) Mangaktifkan kembali Forum pertemuan antara shippers council dan ship owners association.
2) Menekankan kepada para pemilik barang ( cargo owners ) baik ekspor maupun impor serta
instansi-instansi pemerintah / BUMN untuk lebih mengutamakan kapal nasional
daripada kapal asing.
3) Perusahaan pelayaran nasional membuat
kerjasama dengan pelayaran asing untuk memperoleh pasar yang wajar dalam
angkutan luar negeri.
4) Mewujudkan Indonesia incorporated (kerjasama antar BUMN) dalam sea borne trade.
c. Upaya untuk menerapkan peraturan yang telah dikeluarkan
secara konsekwen.
1) Memperkuat personil yang diberitugas sebagai
pengawasan peraturan (law
enforcement) dan bebas
dari KKN.
2) Sinkronisasi peraturan, sehingga peraturan
yang lebih rendah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
d. Upaya untuk meningkatkan profesionalisme
dibidang angkutan laut.
1) Penyusunan program
diklat, baik untuk pelaut maupun non pelaut.
2) Keberadaan Pelabuhan agar dapat memperlancar
kegiatan angkutan laut dan arus barang.
3) Menegaskan batas tanggungjawab dari masing -
masing segmen usaha/ kegiatan dalam proses penyelenggaraan angkutan laut.
II.2
PENEGAKAN HUKUM KELAUTAN
1. KEPELABUHAN
a. Peraturan perundangan tentang pelabuhan. Perlu
diselaraskan sesuai semangat Undang-undang Otonomi Daerah dan prinsip investasi
swasta untuk menjamin kepastian hukum bagi calon investor.
b. Perlu penegasan dan penjelasan melalui
sosialisasi terus-menerus tentang kewenangan-kewenangan apa yang tetap menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat, dan kewenangan-kewenangan apa yang didekonsentrasikan
kepada Pemda Propinsi serta kewenangan-kewenangan apa yang akan
didesentralisasikan kepada Pemda Kabupaten/kota.
c. Hirarki Pelabuhan dalam Tatanan Pelabuhan
Nasional harus dilaksanakan berdasarkan Peran dan Fungsi Pelabuhan sesuai
dengan potensi Hinterland-nya dan tidak berdasarkan wilayah administrasi
Pemerintahan.
d. Perlu penataan kembali terhadap
instansi-instansi yang berada di Pelabuhan. Semua fungsi seluruh instansi yang
ada dipelabuhan harus ditegakkan secara benar sesuai dengan perundang-undangan
yang menjadi wewenangnya. Perlu diadakan restrukturisasi organisasi
instansi-instansi pemerintah yang menangan pelabuhan dalam rangka mengembalikan
dan meningkatkan peran dan fungsi syahbandar sehingga dicapai tingkat efisiensi
yang maksimal disetiap pelabuhan. Kebijaksanaan ini perlu pula disertai dengan
peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM).
e. Lembaga penyelenggaraan Pelabuhan c/q PT.
Pelindo hendaknya tidak mengambil alih tugas-tugas dan fungsi pemerintahan.
f. Perlu diikutsertakan peran dan fungsi
Pemerintah Daerah c/q Pemerintah Propinsi dimana pelabuhan berada sehingga
Pemda merasa memiliki dan turut bertanggung jawab dalam pengembangan pelabuhan,
misalnya didudukkan dalam wadah Dewan Komisaris dan Dewan Pelabuhan / Port Council
(dahulu Badan Musyawarah Pelabuhan).
g. Peran fungsi Pemanduan Kapal perlu didudukkan
kembali sesuai tugas dan fungsinya. Tenaga Pandu yang menjalankan tugas dan
fungsi keselamatan kapal dan pelayaran dikembalikan ke tugas-tugas Pemerintahan
sedang penyediaan fasilitas Pemanduan merupakan tugas penyelenggara pelabuhan.
h. Perlu dilakukan pengkajian dan peninjauan
kembali terhadap penentuan Pelabuhan yang diusahakan dan Pelabuhan yang tidak
diusahakan, sekaligus menyangkut kelembagaan Pelindo agar pelabuhan dapat
memberikan pelayanan yang maksimal dan efisiensi.
i. Kebijakan penentuan tarif Pelabuhan seyogyanya
mengacu kepada prinsip Port
Pricing Policy yang berlaku
umum yaitu :
1) Tarif yang menyangkut
infrastruktur diatur oleh Pemerintah.
2) Tarif yang menyangkut fasilitas supra struktur
diserahkan kepada Direksi Penyelenggara Pelabuhan.
j. Peran swasta perlu dimanfaatkan dan diberi
kesempatan untuk melakukan investasi dipelabuhan namun perlu diutamakan dalam
bentuk “direct investment” dan bukan dalam bentuk “akuisisi”.
k. Dalam rangka melaksanakan pembangunan Hub
Port, seyogyanya Pelabuhan Besar yang sudah ada saat ini dan memiliki fasilitas
dan potensi pendukungnya menjadi pilihan yang utama.
Hal ini disebabkan karena pembangunan Hub Ports
yang baru mempunyai kelemahan yaitu:
1) Memecah segmen pasar
yang telah terbentuk.
2) Memerlukan biaya yang
sangat mahal.
Teori pengembangan
Pelabuhan sebagai Hub Port adalah sebagaiberikut:
1) Terletak pada jalur
lalu lintas pelayaran internasional.
2) Terletak pada jalur
perdagangan internasional.
3) Secara tehnis kapal kepelabuhanan memungkinkan
dibangun Pelabuhan besar seperti kedalaman, kondisi alam yang memungkinkan dan
lain-lain.
4) Mempunyai hinterland yang porensial.
5) Faktor pendukung lain seperti :
- Jaringan
perbankan,
- Jaringan
perdagangan,
- Jaringan
komunikasi,
- Jaringan
jalan darat, kereta api dan lain-lain.
Pemerintah
hendaknya lebih berhati-hati terhadap adanya gagasan / usaha-usaha untuk
membangun beberapa Hub Ports dan perlu didahului dengan studi-studi yang
komprehensif.
I. Instansi yang menangani Keamanan Pelabuhan
seyogyanya menjadi tugas penyelenggara pelabuhan. KPLP/Gamat dapat dimanfaatkan
untuk tugas keamanan pelabuhan dan diperbantukan kepada penyelenggara
pelabuhan. Sementara itu, tugas-tugas kepolisian yang merupakan penanganan
kriminal hendaknya tidak berada dipelabuhan namun keberadaannya didasarkan
kepada kebutuhan (on
call).
m.Keberadaan Terminal Operator di
pelabuhan-pelabuhan besar perlu disempurnakan baik yang menyangkut system
penunjukan maupun kwalifikasinya yang menyangkut peralatan, SDM dan permodalan.
2. NAVIGASI, KESELAMATAN KAPAL DAN
PELAYARAN.
a. Memperhatikan luasnya perairan Indonesia
dengan panjang garis pantainya, maka sewajarnyalah dibenahi secara cukup dan
memadai alat bantu navigasi (aids to navigation)
untuk menghilangkan image
of black area di Indonesia.
b. Meningkatkan peran serta yang lebih aktif
Pemerintah dalam menangani proses kebijakan di forum Internasional, seperti di
IMO, ILO, UNCTAD, ESCAP, dan lain-lain yang membahas issu kemaritiman.
c. Sangat diharapkan perbaikan dalam peraturan
perundangan yang berlaku dan jika
mungkin
diusulkan sosialisasikan konsep yang dihasilkan oleh Team MSDP dengan para
pakar dari UI dan para ahli LN yang sangat kredibel, ataupun konsep lain yang
memadai.
d. Agar ditinjau kembali ruang lingkup tugas dan
fungsi semi organisasi Dit.Perkapalan dan kepelautan terhadap Dit.Gamat,
mengingat kerancuan penanganan pelaksanaan tugas di lapangan.
e. Perlu ditata Iingkup tugas dan fungsi Biro
Klasifikasi Indonesia agar bisa mendukung secara memadai Kebijakan Pemerintah
dan diakui pula oleh lembaga-Iembaga terkait. dimanapun lembaga-lembaga itu
berada.
3. LINGKUNGAN MARITIM DAN PENCEGAHAN
PENCEMARAN LAUT
a. Mengingat bahwa konvensi-konvensi tentang
pencegahan pencemaran di laut dan lingkungannya meliputi banyak hal, kiranya
Pemerintah mengambil langkah-langkah kongkrit untuk sosialisasikan kepada
masyarakat luas, karena Indonesia merupakan negara maritim yang luas dan kaya
akan sumber-sumber dayanya.
b. Perlu pemikiranuntuk dibuai Undang- undang
tersendiri tentang Pencegahan Polusi di Laut. Pemerintah perlu membatasi jumlah
pembukaan pelabuhan-pelabuhan untuk perdagangan luar negeri, karena berdampak
tanggungjawab untuk pengadaan berbagai Reception Facilities yang
membutuhkan dana yang besar.
c. Contigency Plan perlu
diketahui secara umum dan pelatihan-pelatihan perlu diadakan dengan melibatkan
masyarakat luas.
4. SUMBER DAYA MANUSIA
a. Pembinaan SDM pada Sub Dektor Perhubungan Laut
(PNS, PN BUMN, Dinas-Dinas, Swasta) tetap merupakan tugas dari Direktorat
Perhubungan Laut, sesuai kemampuan yang ada.
b. SDM yang tersedia perlu dibina secara dini dan
berjenjang untuk memahami dan menguasai berbagai peraturan-perundangan, agar
implementasi dari ketentuan yang berlaku dapat dilakukan dengan tepat dan jitu.
c. Struktur organisasi Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut perlu disesuaikan dengan perkembangan beban kerja khususnya
dengan berlakunya UU No. 22/99 tentang Otonomi daerah, jumlah PNS meningkat
dari 8.000 orang menjadi 15.000 orang sehingga unit organisasi yang menangani
kepegawaian perlu disesuaikan,
5. DIKLAT
a. Karena eratnya pembinaan SDM dan Diklat, maka
perlu dipikirkan kembali status Pusdiklat Perhubungan Laut, apakah tidak lebih
baik berada di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
b. Karena pentingnya peranan Diklat bagi
organisasi untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya, maka diklat mutlak
perlu diselenggarakan.
c. Khususnya untuk memberikan kesempatan
memperoleh Ijasah Pelaut yang lebih tinggi, perlu adanya kerjasama antara
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dengan para BUMN & BUMS Pelayaran
untuk memperoleh kesempatan berlayar bagi PNS laut dalam rangka memenuhi
persyaratan ujian negara.
6.
HUKUM DAN KERJASAMA INTERNASIONAL
a. Perlu adanya sosialisasi bahan-bahan yang
berkaitan dengan RUU yang direncanakan sebagai pengganti UU No. 21/1992. Dan
demikian pula RPP terkait ditunda pemberlakuan karena ketiadaan cantolan dalam
UU ini. Oleh karena itu, sangat diharapkan perbaikan dalam peraturan
perundangan yang berlaku dan jika mungkin diusulkan sosialisasikan konsep yang
dihasilkan oleh Team MSDP dengan para pakar dari UI dan para ahli LN yang
sangat kridibel ataupun lain yang memadai.
b. Perlu kiranya klarifikasi dan penyeragaman
tentang tingkat peraturan-peraturan dantata cara peraturan, apakah dalam bentuk
UU-kah ataukah hanya Keppres saja, terhadap suatu ratifikasi konvensi
internasional yang pada umumnya mempunyai dampak lintas sektor.
c. Ratiftkasi beberapa konvensi internasional
yang menyangkut Private
Maritme Law
agar tidak terjadi
kevakuman hukum kita.
http://www.google.co.id/search?q=masalah+kemaritiman&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a#sclient=psy-ab&hl=id&client=firefox-a&hs=n19&rls=org.mozilla:en-US%3Aofficial&source=hp&q=masalah+pembangunan+dan+penegakan+hukum+kelautan+indonesia&pbx=1&oq=masalah+pembangunan+dan+penegakan+hukum+kelautan+indonesia&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=e&gs_upl=58862l108636l0l109569l61l52l0l7l7l10l424l9210l0.35.15.1.1l57l0&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.,cf.osb&fp=df769dce7254626&biw=1024&bih=507
No comments:
Post a Comment