PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Lingkungan
Hidup merupakan Anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan
dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi
manusia dan mahluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas
hidup itu sendiri (Samekto, 2009).
Perkembangan
masyarakat internasional menunjukkan bahwa lingkungan tidak lagi dapat
diabaikan kedudukannya dalam kehidupan manusia. Perhatian yang cukup dan
penanganan yang serius harus segera dilakukan, mengingat kerusakan lingkungan
berarti ancaman bagi kelangsungan hidup manusia (Ariadno, 2007).
Pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/ atau komponen lain ke dalam air atau udara. Pencemaran juga bisa berarti berubahnya tatanan (komposisi)
air atau udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air/ udara menjadi
kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya
(Wikipedia).
Laut adalah kumpulan air asin dalam jumlah yang banyak dan luas
yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau. Jadi laut adalah
merupakan air yang menutupi permukaan tanah yang sangat luas dan umumnya
mengandung garam dan berasa asin. Biasanya air yang ada di darat mengalir dan
akan bermuara ke laut (Wikipedia).
Pencemaran
atas laut atau Marine Pollution merupakan
salah satu masalah yang mengancam bumi saat ini, Pencemaran atas laut terus
dibicarakan dalam konteks perbaikan lingkungan hidup internasional.
Perlindungan laut terhadap pencemaran
adalah merupakan upaya melestarikan warisan alam. Melestarikan warisan alam
adalah memberikan prioritas pada nilai selain ekonomis : nilai keindahan alam,
nilai penghormatan akan apa yang ada yang tidak diciptakan sendiri, dan lebih
dari itu, nilai dari kehidupan itu sendiri, sebuah fenomena yang bahkan
sekarang ini dengan kemampuan akal budi manusia tidak mampu dijelaskan
(Sessios, 1995).
Pencemaran Laut
menurut Peraturan Pemerintah No.19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran
dan/atau Perusakan Laut :
Masuknya atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh
kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau
fungsinya.
TINJAUAN
PUSTAKA
Pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/ atau komponen lain ke dalam air atau udara. Pencemaran juga bisa berarti berubahnya tatanan (komposisi)
air atau udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air/ udara menjadi
kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya (Kementrian
Lingkungan Hidup, 2004).
Banyak
penyebab sumber pencemaran air, tetapi secara umum dapat dikategorikan menjadi
2 (dua) yaitu sumber kontaminan langsung dan tidak langsung. Sumber langsung
meliputi efluen yang keluar dari industri, TPA sampah, rumah tangga dan
sebagainya (Anugra, 2010).
Sumber
tak langsung adalah kontaminan yang memasuki badan air dari tanah, air tanah
atau atmosfir berupa hujan. Pada dasarnya sumber pencemaran air berasaldari
industri, rumah tangga (pemukiman) dan pertanian. Tanah dan air tanah
mengandung sisa dari aktivitas pertanian misalnya pupuk dan pestisida. Kontaminan dari atmosfir juga berasal dari
aktifitas manusia yaitu pencemaran udara yang menghasilkan hujan asam. Pengaruh
bahan pencemar yang berupa gas, bahan terlarut, dan partikulat terhadap lingkungan
perairan dan kesehatan manusia (Anugra, 2010).
PEMBAHASAN
Limbah minyak adalah buangan yang
berasal dari hasil eksplorasi produksi minyak,
pemeliharaan fasilitas produksi,
fasilitas penyimpanan, pemrosesan, dan tangki
penyimpanan minyak pada kapal laut. Limbah
minyak bersifat mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun,
menyebabkan infeksi, dan bersifat korosif.
Limbah minyak merupakan bahan berbahaya dan beracun (B3), karena sifatnya,
konsentrasi maupun jumlahnya dapat mencemarkan dan membahayakan lingkungan
hidup, serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya (Wikipedia).
Pencemaran jenis ini termasuk Ship-borne Pollutants yang terdiri dari
berbagai macam bentuk kapal dan muatan. Akan tetapi penyebab utamanya adalah
tumpahan minyak di laut, yang dapat dibedakan karena kegiatan kapal seperti
pembuangan air ballast atau karena adanya kecelakaan kapal di laut, terutama
apabila kecelakaan itu melibatkan kapal tanker.
Kasus
pencemaran minyak di Laut Timor hendaknya dijadikan sebagai salah satu isu
internasional dalam agenda APEC 2013 di Bali pada Oktober mendatang, karena
berkaitan erat dengan masalah lingkungan hidup dan perubahan iklim global.
Harapan pemerhati masalah Laut Timor itu disampaikan kepada para wartawan di
Kupang, sehubungan dengan peringatan 4 tahun tragedi meledaknya kilang minyak
Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009, yang mengakibatkan
90 persen wilayah perairan yang kaya minyak dan biota laut itu tercemar
(Liputan6.com).
Petaka
tumpahan minyak mentah dari kilang Montara yang kemudian dikenal sebutan
"Montara Timor Sea Oil Spill Disaster" itu disertai pula dengan zat
timah hitam bercampur bubuk kimia dispersant jenis Corexit 9500 dan 9572 yang
sangat beracun untuk menenggelamkan tumpahan minyak ke dasar Laut Timor
(Liputan6.com).
Pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membentuk Timnas Penanggulangan Keadaan
Darurat Tumpahan Minyak di Laut dan Tim Advokasi Pencemaran Laut Timor guna
menyelesaikan petakan tumpahan minyak tersebut, namun gagal total sehingga
petaka kemanusiaan dan lingkungan terbesar di abad ini jadi terabaikan.
Berdasarkan
hasil penyelidikan Komisi Penyelidik Tumpahan Minyak Montara bentukan
Pemerintah Federal Australia dengan tegas menyatakan tumpahan minyak Montara
telah mencemari sedikitnya 90.000 Km2 wilayah perairan Laut Timor. Sementara,
pendapat para ahli dan ilmuwan independen menyatakan sekitar 90 persen dari luas
wilayah yang tercemar tersebut berada di wilayah perairan Indonesia.
Menurut para
ilmuwan independen, petaka tumpahan minyak Montara di Laut Timor pada 2009 sama
besarnya dengan petaka tumpahan minyak di Teluk Mexico atau bahkan jauh lebih
besar, namun ditutupi oleh Pemerintah Australia yang bekerja sama dengan PTTEP
Australasia serta Sea Drill Norway Pty Ltd
Berdasarkan
hasil uji kesehatan yang dilakukan tim medis dari YPTB memaparkan, dalam 1
terakhir ini telah muncul penyakit aneh yang menimpa masyarakat pesisir Nusa
Tenggara Timur bahkan sampai ada yang meninggal dunia. Diduga kuat, penyakit
aneh tersebut muncul sebagai akibat dampak dari pencemaran sehingga
dikhawatirkan menjadi sebuah ancaman serius kesehatan bagi sekitar 2.000.000
jiwa masyarakat NTT yang mengonsumsi ikan dan biota laut lainnya dari Laut
Timor yang sudah terkontaminasi dengan minyak mentah, zat timah hitam, dan
bubuk kimia sangat beracun dispersant jenis Corexit 9500 yang telah dilarang
penggunaannya di berbagai negara Eropa termasuk Amerika Serikat (Liputan6.com)
Saat in
ratusan ribu masyarakat NTT berdomisili di sepanjang garis pantai selatan dan
utara Pulau Timor, Rote Ndao, Sabu Raijua, Alor, Sumba dan Flores serta
Lembata, tak lagi bisa membudidayakan rumput laut yang dilukiskan sebagai
"emas hijau" karena wilayah perairan budidaya mereka sudah
terkontaminasi dengan minyak mentah, zat timah hitam dan bubuk kimia dispersant
yang bersumber dari ladang minyak Montara.
Hasil
tangkapan nelayan dan petani rumput laut juga dilaporkan turun drastis sampai
ke titik 85 persen yang mengakibatkan banyak anak nelayan tidak bisa
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena ekonomi keluarga
tidak mendukung, serta rusaknya terumbu karang sampai seluas sekitar 65.000
hektare.
DAFTAR
PUSTAKA
Adji samekto, “Negara
Dalam Dimensi Hukum Internasional”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009
Anugra.
Blogspot.com Macam-macam bahan
pencemar laut (diakses pada tanggal 10 september 2013)
George Sessions
(Ed), Deep Ecology for the 21st
Century. Readings on the Philosophy and
Kementrian
Lingkungan Hidup, UU No 23 tahun 1997,
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jakarta, 2004, Hal 29.
Melda Kamil
Ariadno, Hukum Internasional Hukum yang
Hidup, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal 55.
Practice of the New Environmentalism, Boston &
London : Shambhala, 1995. Hal. 426.