Tuesday, October 29, 2013

Kasus Pencemaran Tahun 2009 (Laut Timor)



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Lingkungan Hidup merupakan Anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan mahluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri (Samekto, 2009).
Perkembangan masyarakat internasional menunjukkan bahwa lingkungan tidak lagi dapat diabaikan kedudukannya dalam kehidupan manusia. Perhatian yang cukup dan penanganan yang serius harus segera dilakukan, mengingat kerusakan lingkungan berarti ancaman bagi kelangsungan hidup manusia (Ariadno, 2007).
Pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/ atau komponen lain ke dalam air atau udara. Pencemaran juga bisa berarti berubahnya tatanan (komposisi) air atau udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air/ udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya (Wikipedia).
Laut adalah kumpulan air asin dalam jumlah yang banyak dan luas yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau. Jadi laut adalah merupakan air yang menutupi permukaan tanah yang sangat luas dan umumnya mengandung garam dan berasa asin. Biasanya air yang ada di darat mengalir dan akan bermuara ke laut (Wikipedia).
Pencemaran atas laut atau Marine Pollution merupakan salah satu masalah yang mengancam bumi saat ini, Pencemaran atas laut terus dibicarakan dalam konteks perbaikan lingkungan hidup internasional. Perlindungan laut  terhadap pencemaran adalah merupakan upaya melestarikan warisan alam. Melestarikan warisan alam adalah memberikan prioritas pada nilai selain ekonomis : nilai keindahan alam, nilai penghormatan akan apa yang ada yang tidak diciptakan sendiri, dan lebih dari itu, nilai dari kehidupan itu sendiri, sebuah fenomena yang bahkan sekarang ini dengan kemampuan akal budi manusia tidak mampu dijelaskan (Sessios, 1995).
Pencemaran Laut menurut Peraturan Pemerintah No.19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut :
Masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.


TINJAUAN PUSTAKA
Pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/ atau komponen lain ke dalam air atau udara. Pencemaran juga bisa berarti berubahnya tatanan (komposisi) air atau udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air/ udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004).
Banyak penyebab sumber pencemaran air, tetapi secara umum dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu sumber kontaminan langsung dan tidak langsung. Sumber langsung meliputi efluen yang keluar dari industri, TPA sampah, rumah tangga dan sebagainya (Anugra, 2010).
Sumber tak langsung adalah kontaminan yang memasuki badan air dari tanah, air tanah atau atmosfir berupa hujan. Pada dasarnya sumber pencemaran air berasaldari industri, rumah tangga (pemukiman) dan pertanian. Tanah dan air tanah mengandung sisa dari aktivitas pertanian misalnya pupuk dan pestisida. Kontaminan dari atmosfir juga berasal dari aktifitas manusia yaitu pencemaran udara yang menghasilkan hujan asam. Pengaruh bahan pencemar yang berupa gas, bahan terlarut, dan partikulat terhadap lingkungan perairan dan kesehatan manusia (Anugra, 2010).

PEMBAHASAN
Limbah minyak adalah buangan yang berasal dari hasil eksplorasi produksi minyak, pemeliharaan fasilitas produksi, fasilitas penyimpanan, pemrosesan, dan tangki penyimpanan minyak pada kapal laut. Limbah minyak bersifat mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, dan bersifat korosif. Limbah minyak merupakan bahan berbahaya dan beracun (B3), karena sifatnya, konsentrasi maupun jumlahnya dapat mencemarkan dan membahayakan lingkungan hidup, serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya (Wikipedia).
Pencemaran jenis ini termasuk Ship-borne Pollutants yang terdiri dari berbagai macam bentuk kapal dan muatan. Akan tetapi penyebab utamanya adalah tumpahan minyak di laut, yang dapat dibedakan karena kegiatan kapal seperti pembuangan air ballast atau karena adanya kecelakaan kapal di laut, terutama apabila kecelakaan itu melibatkan kapal tanker.
Kasus pencemaran minyak di Laut Timor hendaknya dijadikan sebagai salah satu isu internasional dalam agenda APEC 2013 di Bali pada Oktober mendatang, karena berkaitan erat dengan masalah lingkungan hidup dan perubahan iklim global. Harapan pemerhati masalah Laut Timor itu disampaikan kepada para wartawan di Kupang, sehubungan dengan peringatan 4 tahun tragedi meledaknya kilang minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009, yang mengakibatkan 90 persen wilayah perairan yang kaya minyak dan biota laut itu tercemar (Liputan6.com).
Petaka tumpahan minyak mentah dari kilang Montara yang kemudian dikenal sebutan "Montara Timor Sea Oil Spill Disaster" itu disertai pula dengan zat timah hitam bercampur bubuk kimia dispersant jenis Corexit 9500 dan 9572 yang sangat beracun untuk menenggelamkan tumpahan minyak ke dasar Laut Timor (Liputan6.com).
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membentuk Timnas Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut dan Tim Advokasi Pencemaran Laut Timor guna menyelesaikan petakan tumpahan minyak tersebut, namun gagal total sehingga petaka kemanusiaan dan lingkungan terbesar di abad ini jadi terabaikan.
Berdasarkan hasil penyelidikan Komisi Penyelidik Tumpahan Minyak Montara bentukan Pemerintah Federal Australia dengan tegas menyatakan tumpahan minyak Montara telah mencemari sedikitnya 90.000 Km2 wilayah perairan Laut Timor. Sementara, pendapat para ahli dan ilmuwan independen menyatakan sekitar 90 persen dari luas wilayah yang tercemar tersebut berada di wilayah perairan Indonesia.
Menurut para ilmuwan independen, petaka tumpahan minyak Montara di Laut Timor pada 2009 sama besarnya dengan petaka tumpahan minyak di Teluk Mexico atau bahkan jauh lebih besar, namun ditutupi oleh Pemerintah Australia yang bekerja sama dengan PTTEP Australasia serta Sea Drill Norway Pty Ltd

Berdasarkan hasil uji kesehatan yang dilakukan tim medis dari YPTB memaparkan, dalam 1 terakhir ini telah muncul penyakit aneh yang menimpa masyarakat pesisir Nusa Tenggara Timur bahkan sampai ada yang meninggal dunia. Diduga kuat, penyakit aneh tersebut muncul sebagai akibat dampak dari pencemaran sehingga dikhawatirkan menjadi sebuah ancaman serius kesehatan bagi sekitar 2.000.000 jiwa masyarakat NTT yang mengonsumsi ikan dan biota laut lainnya dari Laut Timor yang sudah terkontaminasi dengan minyak mentah, zat timah hitam, dan bubuk kimia sangat beracun dispersant jenis Corexit 9500 yang telah dilarang penggunaannya di berbagai negara Eropa termasuk Amerika Serikat (Liputan6.com)
Saat in ratusan ribu masyarakat NTT berdomisili di sepanjang garis pantai selatan dan utara Pulau Timor, Rote Ndao, Sabu Raijua, Alor, Sumba dan Flores serta Lembata, tak lagi bisa membudidayakan rumput laut yang dilukiskan sebagai "emas hijau" karena wilayah perairan budidaya mereka sudah terkontaminasi dengan minyak mentah, zat timah hitam dan bubuk kimia dispersant yang bersumber dari ladang minyak Montara.
Hasil tangkapan nelayan dan petani rumput laut juga dilaporkan turun drastis sampai ke titik 85 persen yang mengakibatkan banyak anak nelayan tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena ekonomi keluarga tidak mendukung, serta rusaknya terumbu karang sampai seluas sekitar 65.000 hektare.
 
DAFTAR PUSTAKA
Adji samekto, “Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009
Anugra. Blogspot.com Macam-macam bahan pencemar laut (diakses pada tanggal 10 september 2013)
George Sessions (Ed), Deep Ecology for the 21st Century. Readings on the Philosophy and
Kementrian Lingkungan Hidup,  UU No 23 tahun 1997, Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta, 2004, Hal 29.
Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum yang Hidup, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal 55.
Practice of the New Environmentalism, Boston & London : Shambhala, 1995. Hal. 426.

Perencanaan Pembuatan Daerah Perlindungan Mangrove



Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (sedimentasi ) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya dirawat oleh kedua pengaruh darat dan laut.

Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya pesisir di sebagian besar-walaupun tidak semua-wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan benda-benda lainnya, dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata.
Karena tekanan pertambahan penduduk terutama didaerah pantai, mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan, hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak di seluruh daerah tropis. Kebutuhan yang seimbang harus dicapai diantara memenuhi kebutuhan sekarang untuk pembangunan ekonomi di suatu pihak, dan konservasi sistem pendukung lingkungan di lain pihak. Tumbuhnya kesadaran akan fungsi perlindungan, produktif dan socio-ekonomi dari ekosisitem mangrove di daerah tropika, dan akibat semakin berkurangnya sumber daya alam tersebut, mendorong terangkatnya masalah kebutuhan konservasi dan kesinambungan pengelolaan terpadu sumber daya-sumber daya bernilai tersebut.Mengingat potensi multiguna sumber daya alam ini, maka merupakan keharusan bahwa pengelolaan hutan mangrove didasarkan pada ekosistem perairan dan darat, dalam hubungan dengan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
 
Menipisnya hutan mangrove menjadi perhatian serius negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dalam masalah lingkungan dan ekonomi. Perhatian ini berawal dari kenyataan bahwa antara daerah antara laut dan darat ini, mangrove memainkan peranan penting dalam menjinakkan banjir pasang musiman (saat air laut pasang pada musim penghujan) dan sebagai pelindung wilayah pesisir. Selain itu, produksi primer mangrove berperan mendukung sejumlah kehidupan seperti satwa yang terancam punah, satwa langka, bangsa burung (avifauna) dan juga perikanan laut dangkal. Dengan demikian, kerusakan dan pengurangan sumber daya vita tersebut yang terus berlangsung akan mengurangi bukan hanya produksi dari darat dan perairan, serta habitat satwa liar, dan sekaligus mengurang keanekaragaman hayati, tetapi juga merusak stabilitas lingkungan hutan pantai yang mendukung perlindungan terhadap tanaman pertanian darat dan pedesaan.
            Hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh kepulauan di Indonesia di 30 provinsi yang ada. Tetapi sebagian besar terkonsentrasi di Papua, Kalimantan (Timur dan Selatan) Riau dan Sumatera Selatan. Meskipun wilayah hutan mangrove yang luas ditemukan di 5 provinsi seperti tersebut di atas, namun wilayah blok mangrove yang terluas di dunia tidak terdapat di Indonesia, melainkan di hutan mangrove Sundarbans (660.000 ha) yang terletak di Teluk Bengal, Bangladesh.
            Meskipun secara umum lokasi mangrove diketahui, namun luas total hutan mangrove yang masih ada di Indonesia belum diketahui secara pasti. Walaupun mangrove dengan mudah diidentifikasi melalui penginderaan jarak jauh, terdapat variasi yang nyata diantara data statistik yang dihimpun oleh instansi-instansi di Indonesia, misalnya yang ada di Departemen Kehutanan, dan yang ada di organisasi internasional seperti FAO berkisar antara 2,17 dan 4,25 juta hektar (mangrove dalam kawasan hutan).           
            Hutan mangrove di Indonesia berada dalam ancaman yang meningkat dari berbagai pembangunan, diantara yang utama adalah pembangunan yang cepat yang terdapat di seluruh wilayah pesisir yang secara ekonomi vital. Konsevasi kemanfaatan lain seperti untuk budidaya perairan, infrastruktur pantai termasuk pelabuhan, industri, pembangunan tempat perdagangan dan perumahan, serta pertanian, adalah penyebab berkurangnya sumber daya mangrove dan beban berat bagi hutan mangrove yang ada. Selain ancaman yang langsung ditujukan pada mangrove melalui pembangunan tersebut, ternyata sumber daya mangrove rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya.

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan
            Tindakan pengelolaan SDA mempunyai tujuan utama untuk menciptakan ekosistem yang produktif dan berkelanjutan untuk menopang berbagai kebutuhan pengelolaannya. Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan adanya keseimbangan dalam memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove dalam keadaannya yang asli dengan manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan utama pengelolaan ekosistem mangrove adalah sebagai berikut :

a.       Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologis dari ekosistem mangrove dengan menggunakan pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip kelestarian hasil dan fungsi ekosistem yang bersangkutan.
b.      Merehabilitasi hutan mangrove yang rusak.
c.       Membangun dan memperkuat kerangka kelembagaan beserta iptek yang kondusif bagi penyelenggaraan pengelolaan mangrove secara baik.
Bentuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove
            Pengelolaan ekosistem (hutan) mangrove hendanya mencakup tiga benruk kegiatan pokok, yakni :
a.       Pengusahaan hutan mangrove yang kegiatannya dapat dikendalikan dengan penerapan sistem silvikultur dan pengaturan kontrak (pemberian konsensi).
b.      Perlindungan dan pelestarian hutan mangrove yang dilakukan dengan cara menunjuk, menetapkan dan mengukuhkan hutan mangrove menjadi hutan lindung, hutan konservasi (Suaka Alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Hutan Wisata, dll) dan kawasan lindung lainnya (Jalur hijau, sempadan pantai/sungai, dll)
c.       Rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak sesuai dengan tujuan pengelolaannya dengan pendekatan pelaksanaan dan penggunaan iptek yang tepat guna.
Penetapan suatu kawasan hutan mangrove menjadi kawasan lindung (hutan lindung dan hutan konservasi) dapat dilakukan tanpa sistem scoring apabila kondisi fisik areal hutan dan potensi sumber daya hayatiya dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan, misal :
a.       Mangrove yang tumbuh di tanah berkoral atau tanah pasir podsol atau tanah gambut
b.      Mangrove yang tumbuh pada kawasan pesisir yang arus air lautnya deras
c.       Mangrove tempat bertelur penyu atau tempat berkembang biak/mencari makan/memijah jenis ikan yang langka/hampir punah/endemic
d.      Kawasan lainnya yang dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan.

Sumber : Seminar Pengelolaan Hutan Mangrove Denpasar, Bali 8 September 2003
 

Pengelompokan Mikroorganisme Berdasarkan Suhu, Nutrisi, Cahaya Matahari, Ph Dan Tekanan Hidrostatik

1.     Suhu berperan penting dalam mengatur jalannya reaksi metabolisme bagi mahluk hidup tidak terkecuali pada mikroorganisme. Berdasa...